Dilema Permasalahan Angkutan Bus Sedang
photo by Google |
Jika Anda lihat jalanan kota Jakarta pada pagi atau sore hari, maka jangan terkejut melihat ratusan kendaraan tumpah ruah di jalanan. Dari rentetan kendaraan yang berbaris itu, Anda akan menemukan beberapa bus kecil di antaranya. Dan jangan heran bila bus-bus kecil itu masih bisa melaju kencang di antara sempitnya lahan kosong jalanan, menyelinap di tiap ada sekecil apapun kesempatan, bahkan menjadi garda terdepan dalam barisan kemacetan.
Kebut-kebutan di jalanan sepertinya merupakan suatu hal yang wajib bagi supir bus ini. Bahkan di jalanan yang ramai sekalipun. Mereka juga tak lagi peduli dengan keberadaan halte yang merupakan tempat menaik-turunkan penumpang. Sebab, dimanapun mereka melihat ada orang yang melambaikan tangan dengan maksud memberhentikan bus mereka, maka seketika supir bus akan menikukkan busnya ke kiri jalan untuk menghampiri calon penumpangnya. Dan biasanya para pengemudi kendaraan lain, yang merasa jalannya di potong oleh badan bus ini, akan ramai membunyikan klakson mereka dengan perasaan jengkel.
Saling balap antar pengendara bus ini juga kerap terjadi. “Siapa cepat, dia dapat”, itulah motto mereka dalam mencari penumpang. Maka jika di belakang mereka ada bus dengan trayek yang sama, mereka akan langsung menancap gas dalam, supaya calon penumpangnya di depan tidak diambil oleh supir bus lainnya.
Demi mendapatkan penumpang, mereka juga kerap mengetem di depan gang, tikungan, maupun di halte. Dan tentu saja hal ini menyebabkan timbulnya suatu kemacetan baru. Padahal menurut analisis Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), kerugian akibat kemacetan bisa mencapai Rp12,8 trilun per tahun. Dan amat disayangkan bila kemacetan yang ada hanya karena ulah sebuah kendaraan yang tidak tertib.
Di jam-jam sibuk, calon penumpang akan membludak. Dan ini merupakan kesempatan emas bagi para kondektur bus untuk mengejar setoran. Akhirnya, kondektur akan tetap memaksa mengangkut penumpang meski hanya tersisa sedikit ruang kosong di dalam busnya. Tak jarang badan bus terlihat miring sebelah karena kuota yang diangkut sudah melebihi kuota maksimum.
Supir-supir Angkutan Bus Sedang ini banyak juga yang tidak memilki Surat Izin Mengemudi (SIM). Kebanyakan dari mereka merupakan “supir tembak” (bukan pengemudi resmi dari angkutan ini). Supir tembak hanya butuh modal kemampuan menyetir mobil secukupnya. Januar (17) yang biasa mangkal di terminal Pasar Minggu, memilih untuk nekat mengemudikan Bus Sedang ini walaupun tidak punya SIM. “Daripada nganggur,” katanya. Biasanya penghasilan para supir tembak ini nantinya akan dibagi dua dengan supir bus resmi. Oleh sebab itu, supir-supir bus resmi akan merelakan saja busnya melalang buana di jalanan untuk mencari penumpang. Karena pada akhirnya ia juga akan mendapat untung.
Akan tetapi, apa yang di rasa untung olehnya, belum tentu untung bagi orang lain. Supir-supir tanpa surat izin ini lebih banyak menimbulkan masalah di jalanan. Mulai dari cara mengendara yang tidak lancar, ngebut, dan segala macam tingkah yang menyepelekan keselamatan penumpang, telah menimbulkan beragam masalah di jalanan.
Minggu (3/4), Metromini 75 jurusan Blok M-PasarMinggu terbalik dan menewaskan satu orang penumpang. Metromini bernomor polisi B 7311 EW ini dikendarai oleh supir yang baru berusia 15 tahun dan tidak memilki SIM. Para saksi mata mengatakan, bus ini melaju dengan kecepatan tinggi, lalu seketika oleng ketika berada di tikungan. Sehingga terjadilah peristiwa yang harus merenggut nyawa penumpang yang seharusnya menjadi tanggung jawab pengemudi bus.
Sepekan sebelumnya, Metromini 47 menabrak sebuah motor di Duren Sawit hingga pemboncengnya tewas. Kejadian ini berakhir dengan pembakaran bus oleh warga yang kesal dengan tingkah laku supir bus yang sering ugal-ugalan. Dan tidak sedikit supir bus pembawa bencana ini adalah supir tembak. Mereka biasanya berkelit bahwa rem mereka blong, atau koplingnya macet.
Alasan klise seperti ini akan sulit kita ragukan bila kita melihat kondisi fisik bus-bus itu sendiri. Ribuan Angkutan Bus Sedang yang setiap hari berlalu-lalang di kota kebanyakan memang sudah tua dan tidak layak jalan. Badan bus yang kropos, lampu sen yang mati, kaca depan yang retak, dan speedometer yang tidak berfungsi adalah gambaran dominan kondisi fisik Angkutan-angkutan Bus Sedang saat ini.
Angkutan Bus Sedang sendiri mulai beroperasi sejak tahun 1976. Jumlah angkutan jenis ini menurut data Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta pada tahun 2008 adalah 4960 unit. Metromini berjumlah 3101 unit, sedangkan Kopaja jumlahnya 1473 unit. Banyaknya bus yang tidak layak jalan membuat 94 trayek Angkutan Bus Sedang di wilayah Jadetabek menjadi rawan kecelakaan. Belum lagi asap hitam yang dikeluarkan dari knalpot Bus-bus Sedang ini. Sisa pembakaran solar angkutan jenis ini merupakan penyumbang polusi udara yang besar di Jakarta.
Pemilik perusahaan angkutan jenis ini juga terlihat tak acuh dengan keadaan armada-armada busnya. Tidak ada peremajaan atupun pengecekan emisi gas buang untuk bus-bus mereka. Maka dari itu, bus-bus yang tidak layak jalan tetap bisa melalang buana di jalanan. Untuk menghindari menjamurnya supir bus tembak, seharusnya pihak pemilik angkutan memberikan Surat Pengenal bagi para supir bus resmi. Sehingga supir-supir bus tembak bisa dibatasi ruang geraknya.
Selain itu, Polisi Lalu Lintas (POLANTAS) juga harus tegas menertibkan supir Angkutan Bus Sedang yang tidak tertib. Kontrol dari pihak aparat terhadap para pengemudi Bus-bus Sedang juga harus di tingkatkan. Karena kenyataan di lapangan saat ini menunjukkan, Polantas di berbagai terminal maupun di jalanan lebih sering terlihat “akrab” dengan para pengemudi bus karena uang yang diberikan supir bus kepadanya. Dalam jam-jam sibuk, jumlah polisi yang bertugas untuk mengatur jalan juga cenderung tidak memadai. Sehingga polisi akan lebih fokus untuk menyelesaikan kemacetan dan semerawutnya jalan, dibanding menertibkan bus yang ugal-ugalan.
Dishub dan Lantas PMJ sendiri, setiap sepekan dua kali telah menjaring ratusan mobil yang tidak sesuai dengan prosedur. Tak sedikit dari ratusan kendaraan yang dijaring, beroperasi tanpa surat-surat resmi. "Banyak surat-surat yang sudah mati. Kendaraan yang dikandangin sudah ratusan. Yang ditilang sudah ribuan," tutur Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, Udar Pristono.
Di lain sisi, penumpang juga merupakan faktor penyebab kompleksnya masalah ini. Para penumpang tidak berfikir untuk menunggu bus di halte. Karena bus akan tetap berhenti dimanapun mereka memberhentikannya. Dan mereka juga berbuat hal serupa ketika akan turun. Sehingga bus yang sedang melaju kencangpun, bisa tiba-tiba melambat dan pindah ke jalur kiri jalan. Ini menjadi ancaman yang besar bagi keselamatan para pengguna jalan yang lain. Apalagi jika lampu sen bus tidak berfungsi.
Untuk menghemat waktu, para penumpang juga sering tetap memaksa naik ke dalam angkutan yang sudah penuh sesak. Mereka juga sudah terbiasa dengan pola tingkah para pengemudi bus yang ugal-ugalan. Bahkan sebenarnya mereka membutuhkan sifat “ugal-ugalan” dari para supir angkutan jenis ini. Angkutan Bus Sedang yang seringkali ngebut mereka jadikan andalan untuk mengejar ketertinggalan waktu mereka. “Anda butuh waktu, kami butuh uang”. Itulah slogan yang pas bagi simbiosis antara pengemudi Angkutan Bus Sedang dengan para penumpangnya.
Tarif untuk naik angkutan jenis ini juga sangat terjangkau. Mulai dari Rp 2.000 hingga Rp 4.000, penumpang sudah bisa sampai tujuan dengan waktu yang relatif cepat. Trayek yang jauh dengan ongkos yang tidak lebih mahal dari pada angkutan lainnya, membuat Angkutan Bus Sedang ini digandrungi oleh masyarakat kota.
Akan tetapi, mengapa kendaraan yang dibutuhkan masyarakat ini luput dari pelayanan yang baik? Penumpang pada akhirnya menanggung sendiri risiko yang mengancam keselamatan mereka. Dan tetap menjadikan Angkutan Bus Sedang sebagai kendaraan andalan untuk mengantarkan ke tujuan.
Pemerintah sedang menyusun rencana untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Dan salah satu poinnyaadalah dengan menertibkan Angkutan Bus Sedang yang jumlahnya banyak, dan menggantinya dengan bus-bus besar, serta membatasi jumlah penumpang yang di angkut. Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementrian Perhubungan, Bambang S Ervan mengatakan, Metromini dan Kopaja sebaiknya diberi AC atau fasilitas lainnya.
Akan tetapi, hal ini pada akhirnya akan memberatkan penumpang. Karena mereka otomatis akan mengeluarkan ongkos yang lebih mahal dari biasanya. Masyarakat sebenarnya membutuhkan transportasi umum yang murah, aman dan nyaman. Dan hal ini sepertinya menjadi hal yang paradoks bagi pemerintah saat ini.
Direktur Bina Sistem Transportasi Perkotaan Dirjen Angkutan Darat Kementerian Perhubungan, Elly Sinaga, menuturkan bahwa waktu tunggu angkutan juga seharusnya diatur. Pengaturan waktu tunggu ini dapat mencegah persaingan antar bus yang membuat para supir menjadi “pembalap” dadakan di jalanan.
Permasalahan Angkutan Bus Sedang ini di satu sisi menghantui keselamatan para pengguna jalan. Akan tetapi, di sisi lain masyarakat tetap membutuhkan angkutan ini karena murah dan cepat. Penertiban yang dilakukan pemerintah akan menjadi sebuah dilema. Karena masyarakat membutuhkan transportasi yang murah dan cepat. Sedangkan jika Angkutan Bus Sedang diberi fasilitas yang bagus atau bahkan harus digantikan dengan bus besar, maka masyarakat akan kesulitan mendapat transportasi umum yang murah lagi.
Solusi terbaik bagi masalah ini adalah mewujudkan kesadaran bagi masing-masing pihak untuk selalu berbuat tertib. Bagi para pemilik angkutan, penataran dan penyeleksian supir bus harus dilakukan lebih ketat. Harus ada revitalisasi dan restrukturasi bagi angkutan yang sudah tua dan rusak. Dan untuk pihak aparat sebagai pengawas dan pengontrol masyarakat, tingkah laku ugal-ugalan supir bus harus bisa ditindak tegas. Pemerintah perlu mengkampanyekan budaya untuk menunggu angkutan di halte yang tersedia. Dengan begitu, maka permasalahan Angkutan Bus Sedang di Jakarta perlahan-lahan akan menurun.
Komentar
Posting Komentar