Menanti Thukul Pulang: Kisah Keluarga Korban Penculikan
Halo! Ini tulisan pertamaku di media yang meraih penghargaan.
Gak nyangka aku juga, di tahun pertama lulus kuliah dan jadi jurnalis, udah dapet penghargaan Jurnalisme Adinegoro. #Hamdallah. #TapiSyok
Kata dosenku, ini penghargaan jurnalisme tertinggi di Indonesia. Semacam award Pulitzer untuk jurnalisme di Amerika. Kaget banget juga sih., Tapi seneng gak ketulungan.
Maka dari itu ingin kubagi tulisan ini bersamamu. Ku copas (copy paste) langsung dari web mediaku (www.portalkbr.com) langsung yaa..
Di award Adinegoro 2014, tulisan berjudul "Menanti Thukul Pulang" ini menang untuk kategori media siber (online). Selamat membaca! Semoga menginspirasi.
====
Gak nyangka aku juga, di tahun pertama lulus kuliah dan jadi jurnalis, udah dapet penghargaan Jurnalisme Adinegoro. #Hamdallah. #TapiSyok
Kata dosenku, ini penghargaan jurnalisme tertinggi di Indonesia. Semacam award Pulitzer untuk jurnalisme di Amerika. Kaget banget juga sih., Tapi seneng gak ketulungan.
Maka dari itu ingin kubagi tulisan ini bersamamu. Ku copas (copy paste) langsung dari web mediaku (www.portalkbr.com) langsung yaa..
Di award Adinegoro 2014, tulisan berjudul "Menanti Thukul Pulang" ini menang untuk kategori media siber (online). Selamat membaca! Semoga menginspirasi.
====
Menanti Thukul Pulang |
Written By : Aisyah Khairunnisa | 27 August 2014 | 11:06
Wiji Thukul (foto: tokohtokoh.com)
KBR - Enam belas tahun sudah penyair Wiji Thukul tak pulang ke rumah. Selama itu pula istri Wiji berjuang untuk menafkahi kedua anaknya. Fajar Merah, anak kedua Wiji Thukul kini giat menyanyikan puisi sang ayah. Wiji Thukul masih raib, dihilangkan secara paksa oleh pemerintahan Soeharto.
“Saya akan membawakan lagu terakhir dari Wiji Tukul yang sampai saat ini juga belum diketahui kejelasannya, dia hidup atau mati. Dan kita hanya butuh kepastian. Ini puisi yang saya lagukan karena hanya dengan kata aku bisa menyentuh beliau. Dan semoga segera diselesaikan kasus penghilangan paksa ini.”
Fajar Merah, pria kurus berambut ikal itu memetik gitar mendendangkan puisi dengan mata terpejam. Bibirnya bait-bait puisi hasil goresan pena ayahnya, Wiji Thukul aktivis penyair yang dihilangkan paksa pada medio 1998.
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau hendaki tumbuh
Engkau lebih suka membangun
Rumah dan merampas tanah
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang tak
Kau kehendaki adanya
Engkau lebih suka membangun
Jalan raya dan pagar besi….
Karya Wiji Thukul di Solo pada periode 1987 – 1988
“Sejak kecil aku tahunya bapak hilang. Gak tahu bapak itu hilang karena kenapa. Dan akhirnya saya jadi penasaran sendiri. Jadi pertanyaan lalu aku cari informasi dari buku-buku di rumah, dari kakak,” kisah Fajar Merah kepada jurnalis KBR di Jakarta.
Kapan persisnya Wiji Thukul hilang, keluarga tak tahu persis. Ini sebab sejak 1996, pria kelahiran Solo itu pamit untuk bersembunyi dari jeratan aparat. Berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Sementara Fajar yang kala itu masih balita tak punya memori bersama Wiji Thukul.
“Mungkin ketemu tapi kan waktu ditinggal itu aku umur empat tahun. Dan aku tidak punya memori dengan dia waktu itu.”
Fajar di masa kecil jenuh dengan cerita penculikan ayahnya, penyair yang sempat aktif dalam Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker).
“Kenapa saya tidak ditemukan sama bapak itu memang kesalahan Tuhan. Saat itu aku sempat menghujat Tuhan karena tidak menjadikan aku dan bapakku menjadi sebuah keluarga yang utuh.”
Namun saat beranjak dewasa ia mulai membuka lembar demi lembar berkas puisi yang ditulis oleh sang ayah. Dari situ dia mencari tahu apa yang jadi sebab ayahnya dihilangkan secara paksa.
“Tapi itu karena aku gak tahu. Dan akhirnya aku mencari tahu siapa itu bapak. Dan ternyata bapak hilang karena puisi yang ditulisnya. Dan saya pikir ini tidak masuk akal. Dan membuat saya merasa marah dengan pemerintahan saat itu,” pungkas Fajar.
Wiji Thukul diculik oleh Tim Mawar. Sebuah tim kecil di dalam Kopassus. Thukul beserta 12 aktivis pro-demokrasi lain diculik dengan dalih “membahayakan negara”. Jenderal-jenderal baret merah menganggap puisi Wiji Thukul menghasut para aktivis untuk melawan pemerintah Orde Baru. Pemerintahan Soeharto.
Fajar terus menyelami isi karya Wiji Thukul. Dia kagum bercampur haru membaca goresan tangan Wiji Thukul yang jauh dari istilah dan perumpanaan. Menurut Fajar puisi ayahnya apa adanya menggambarkan situasi sosial politik di Indonesia di era pemerintahan Soeharto.
“Dia langsung ngomong tentang buruh, penindasan, tanpa basa-basi dengan memanipulasi dengan kata-kata yang lebih indah.”
Selain rajin menumpahkan kegelisahannya lewat puisi, Wiji Thukul juga kerap berdemo karena ketidakadilan. Misalnya demonstrasi memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil pada 1992.
Tapi, Wiji Thukul belum juga kembali. Pada pertengahan 2000, sang istri Siti Dyah Sujirah atau yang akrab dipanggil Sipon melaporkan kehilangannya ke Komisi Orang Hilang Kontras. Menurut Fajar, saat itu ibunya yang bekerja sebagai buruh harus bekerja ekstra untuk bisa menghidupi dirinya dan dan kakaknya Fitri Nganti Wani. Akhirnya Sipon sakit.
“Dampaknya sangat besar karena sudah sampai menyerang kondisi psikis ibu. Ibu punya semacam bipolar disorder, dan apa yang diserang memang jiwanya yang diserang. Jadi ibu agak bermasalah. Kadang merasa sendiri tiap malam bahkan mungkin dari pagi sampai malam nangis terus. Baru dua tahun kemarin. Mungkin karena ibu kebanyakan pikiran.”
Sipon kini membuka usaha binatu di rumah yang dulu ditinggali bersama Thukul di Solo. Berniat membuka butik Sipon mencoba menggadai rumah demi mendapat kucuran utang. Namun permintaan itu ditolak lantaran status keberadaan Thukul yang belum jelas.
“Mereka selalu memberi pertanyaan pada kita (aparat kelurahan-red); “ya kita butuh keterangan kalau bapak mati, kita minta surat kematian. Kalau bapak sama ibu cerai kita minta surat cerai”. Tapi kan gak bisa dijelaskan dengan dua surat itu.”
Ibunya, Sipon, hanya memegang surat yang diberikan Komnas HAM. Surat itu menyatakan bahwa Wiji Thukul adalah korban penculikan dan penghilangan ‘98. Serta keterangan bahwa negara masih berusaha mencarinya. Lagi, surat itu juga tak laku untuk mengajukan pinjaman kredit di bank.
Menghadapi jalan buntu, Sipon terpaksa harus “membunuh” Wiji Thukul. Ibu Fajar, akhirnya mengurus surat kematian suaminya agar bisa membuka usaha dan melanjutkan hidup. Melihat kondisi keluarganya seperti itu, Fajar meminta presiden yang akan terpilih nanti bisa menyelesaikan kasusnya.
“Minta untuk segera menuntaskan kasus penghilangan paksa dan menangkap pelakunya dan kami ingin kepastian dimana 13 orang yang belum diketemukan itu. Kita gak mau tahu dalam keadaan hidup atau mati atau mereka ada dimana. Yang kita butuhkan hanya kepastian, dia hidup atau mati. Saya gak mau ibu saya, gak cuma ibu saya, keluarga saya terus-terusan seperti ini mengalami pertanyaan yang terus menghantui kita setiap malam, setiap hari,” pungkas Fajar menutup kisah mengenai keluarganya.
Selain Thukul, ada belasan orang yang turut dihilangkan paksa pada 1998 lalu.
Seumpama bunga
Kami adalah bunga yang
Dirontokkan di bumi kami sendiri
Jika kami bunga
Engkau adalah tembok itu
Tapi di tubuh tembok itu
Telah kami sebar biji-biji
Suatu saat kami akan tumbuh bersama
Dengan keyakinan: engkau harus hancur!
Dalam keyakinan kami
Di manapun – tirani harus tumbang!
Solo – 1987 (Wiji Thukul)
(Saga ini memenangkan Penghargaan Adinegoro 2014, diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada Hari Pers Nasional ke-69 pada 9 Februari 2015 di Batam)
=====
Gimana? Sedih gak?
Penasaran gak sama komentar tiga jurinya? Yang salah satunya adalah Pemimpin Redaksi Detik.com (pelopor portal berita di Indonesia yang tenar abis).
Ini dia.. (Kucopas dari rilis yang dikirim panitia penjurian aja ya. Hehe)
SIARAN PERS
Nomor :
101/PWI-P/HPN2015/I/2015
Perihal :
Pemenang Anugerah Jurnalistik Inovasi HPN 2015, Kategori Siber
“MENANTI THUKUL PULANG” RAIH PENGHARGAAN JURNALISTIK
HPN 2015 KATEGORI SIBER
Jakarta, 15 Januari 2015 (PWI) – Berita berjudul “Menanti Thukul Pulang” buah karya Aisyah
Khairunnisa yang disiarkan di www.portalkbr.com pada 27 Agustus 2014
memenangkan penghargaan jurnalisme inovasi Hari Pers Nasional (HPN) 2015 untuk
kategori siber (media online).
Dewan juri terdiri atas pakar Teknologi Informasi,
Onno W. Purbo, pemimpin redaksi detik.com Arifin Asydhad dan pakar etnografi
Amalia E. Maulana dalam sidang pada Kamis, 15 Januari di Jakarta memberikan
nilai 710 terhadap berita yang mengangkat
kisah keluarga Widji Thukul, salah seorang pegiat yang hilang.
“Sentuhan kemanusiaannya sangat tinggi, menceritakan
anak yang tidak mengenal bapaknya. Penyajian juga menarik,” kata Onno W. Purbo.
Sementara itu Amalia E. Maulana menegaskan bahwa dalam
tulisan ini, karakter berita “online” terlihat, sementara beberapa karya lain
masih rancu antara karya cetak yang disiarkan secara “online”.
Sifat media online menurutnya adalah mengedepankan
kecepatan dan singkat serta padat, selain itu tulisan ini sangat menyentuh,
mengangkat topik yang selama ini luput dari perhatian, katanya.
“Widji Thukul adalah sosok yang tidak diketahui
keberadaannya. Menghilangkan orang adalah tindakan yang a-demokrasi, jadi
tulisan ini sangat cocok dengan tema penghargaan,” kata Arifin Asydhad.
Penghargaan Jurnalisme Inovasi diberikan setiap tahun
dalam rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN) sebagai penghargaan bagi
karya jurnalistik untuk dua kategori yaitu siber dan infotaimen.
Pemenang mendapat piagam, tropi dan uang tunai sebesar
Rp10.000.000,- yang akan disampaikan pada acara puncak HPN di Batam pada 9
Februari 2015 mendatang.
Kategori siber tahun ini diikuti oleh 11 media dari
Jakarta dan daerah, untuk tahun ini mengusung tema demokrasi. Beberapa karya
lain yang mendapat penilaian cukup tinggi adalah tulisan “Demokrasi ala
Perkampungan Suaka” dari Riaupos.co, Di Balik Polemik Hitung Cepat RRI dari www.portalkbr.com serta Menanti Bundo Kanduang yang disiarkan di
Republika.online.
Panitia
HPN juga memberikan penghargaan jurnalistik Anugerah Adinegoro untuk delapan
kategori berita berkedalaman, berita foto, berita televisi, tajuk rencana,
berita radio dan karikatur yang masing-masing memperebutkan hadiah uang tunai
Rp 50.000.000.
====
Begitu, ini keberuntungan pemula rasanya. Semoga tak hanya membakar semangat awal berkarya. Dan terima kasih pada media saya, Kantor Berita Radio (KBR/portalkbr.com) atas kesempatan yang saaaangaaaattt luas untuk meliput dan menyiarkan berbagai tema (mulai dari yang umum sampe yang jarang banget diliput sekalipun). Heheu. Semoga kita selalu sukses mengudara dari Aceh hingga Papua.
Sekian.
Warung kopi ber-AC dekat kosan.
3 Maret 2015. 10:11 pm.
Tadi siang keringat dingin. Malam malah tak bisa terpejam.
|
Komentar
Posting Komentar