Lumpuh Otak Tak Melumpuhkan Mimpi Dhea
Ketika saya dan Ishha melihatnya
dari kejauhan, kemudian mendekatinya sambil melambaikan tangan, ia dengan
raganya yang telah lama ditopang kursi roda elektrik, membalas lambaian tangan
kami dengan bubuhan senyum. Ditemani ibunda dan pengasuhnya, Dhea Erissa,
mahasiswa jurusan Antropologi 2011 ini terlihat sangat ramah menyambut kami.
Setelah berkenalan dan meminta izin kepada
ibudanya untuk mengajak Dhea berbincang, kami mengawal Dhea menuju toko buku
Bloc di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Univerisitas Indonesia
(UI). Di toko buku yang merangkap sebagai restoran itu, mulailah kami mengulik
kehidupan Dhea yang akan menjadi materi berita human interest (feature)
untuk pemenuhan tugas kuliah.
Perempuan yang pada Desember ini
berusia 19 tahun, menderita Celebral Palsy, atau kelumpuhan otak. Ini adalah kondisi
dimana syaraf motorik otak terganggu, sehingga menyebabkan gerak dan reflek
Dhea tidak seperti orang pada umumnya. Selain itu, Dhea juga harus memakai
kursi roda, karena kakinya yang kaku tidak dapat menopang tubuhnya.
Tanya: Dhea gimana kuliahnya?
Jawab: Lancar.
T: Susah gak kuliah di UI?
J: Belum, belum susah.
T: Dhea kenapa pilih jurusan Antropologi?
J: Suka.
T: Suka dengan kebudayaan manusia?
J: Iya.
T: Antropologi Itu pilihan pertama?
J: Nggak, (jurusan) Komunikasi.
T: Lalu yang kedua?
J: Sosiologi.
T: Memang Dhea cita-citanya mau jadi apa?
J: Jurnalis.
T: Wah, terus sekarang sudah masuk Antropologi, nanti setelah lulus mau
jadi apa?
J: Peneliti. Peneliti manusia.
Ya, itulah sepenggal perbincangan
awal kami dengan Dhea. Jawaban dan perkataan yang ia lontarkan memang selalu
singkat, mengingat Dhea memiliki kesulitan dalam berbicara. Jika ia hendak
mengeluarkan barang sepatah kata, kepala, kaki, dan tangannya akan bergerak
lebih dahulu sebelum ia bisa mengeluarkan ucapannya. Namun dibalik kesulitannya
untuk berbicara, Dhea terus mengembangkan senyum.
Dea yang merupakan anak tunggal,
divonis menderita penyakit ini sejak usia 9 bulan. Hal ini membuat ia tidak
bisa berjalan dan mulai memakai kursi roda sejak kecil. Namun ia selalu
bersekolah di sekolah umum, bukan sekolah luar biasa. Dhea bisa mendengar
dengan lancar, hanya pada saat berbicara, motorik anggota badan lain akan ikut
bergerak.
Meskipun raga Dhea tidak seperti
teman-teman lainnya, namun ia tetap semangat untuk menimba ilmu. Bahkan Dhea mengikuti
serangkaian kegiatan penyambutan mahasiswa baru, seperti latihan paduan suara,
ospek universitas, fakultas maupun jurusan. Dhea mengaku, meskipun serangkaian
kegiatan itu melelahkan, namun ia tetap menjalankan hingga selesai karena sudah
menjadi kewajiban.
Setelah mendengar kata “wajib” dari bibir dea, saya dan Issha berpandangan. Kami menyadari satu hal bahwa Dhea bukanlah perempuan yang lemah. Banyak dari kami, mahasiswa yang dianugrahi fisik hampir sempurna, menyepelekan kegiatan tersebut dengan berbagai macam alasan. Lelah salah satunya.
Perbincangan Jumat (4/11) sore itu
berlangsung singkat dan kami sepakat untuk melanjutkannya lewat Blackberry
Messager (BBM) dan surat elektronik (e-mail). Kami memilih cara ini
mengingat kemampuan Dhea dalam berbicara akan membuat ia kesulitan untuk
bercerita panjang.
Senin (7/11) lalu, sebuah surat
elektronik yang sudah kami nantikan sampai. Dhea menjawab pertanyaan kami
dengan sedikit bercerita. Ia menceritakan sepenggal keidupannya dengan penyakit
yang belum ditemukan obatnya ini.
1. Dokter bilang ada syaraf motorik di otak yang terganggu, dalam dunia
medis disebut Cerebral Palsy. Akibat Cerebral Palsy pada setiap orang
bisa tidak persis sama. Kalau saya, berefek pada pengaturan gerak dan reflek
yang tidak sebagus teman-teman lain.
2. Seperti yang lain, biasanya dokter menyarankan untuk fisioterapi. Jadi
sejak terdeteksi (umur 9 bulan) saya berlatih melalui fisioterapi. Sesekali
pernah akupunktur, untuk yang non medis, pernah juga. Tapi biasanya
dipertimbangkan yang tidak berefek negatif, ataupun sirik hehehe
3. My closest person in the world is my parent
4. Impian yang belum tercapai itu adalah bisa pergi ke Inggris, karena
sejak kecil saya ingin sekali pergi ke sana hehehee
5. Sejauh ini dosen-dosen memperlakukan saya sama seperti dengan
teman-teman lain.
6. Karena saya tidak menganggap ini penyakit yang berat jadi ya saya biasa saja,
setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan.
Jika hanya lemah di hal-hal yang bersifat fisik, menurut saya hal itu bukan
masalah serius. Kekurangan pada hal-hal yang bersifat non fisik (jiwa), seperti
sifat, sikap, perilaku negatif dan merugikan orang lain itu baru sesuatu yang
harus serius diselesaikan.
Saat ini, saya merasa hanya diberi waktu untuk belajar berjalan lebih lama
dari yang lain, saya lebih banyak fokus pada kelebihan yang ada, dan itu jauh
dari cukup dan sungguh saya syukuri. Keluarga, saudara, teman yang pernah
saya kenal adalah orang-orang luar biasa yang saya temui.
Setelah
membaca isi pesan ini, saya dan Issha dengan senyum haru kembali belajar
mengenai suatu hal. Bahwa fisik bukanlah halangan berarti untuk mengganjal jalan
kita menuju cita. Hidup ini akan terasa indah apabila kita bisa mensyukurinya
Aisyah
Khairunnisa – Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia 2010
November
2011
GOD bless u.... dhea....
BalasHapusTuhan tidak akan pernah sekali-kali meninggalkan
kamu..
very much inspiring
BalasHapus