Karena Ibu: Aku Selalu Punya Rumah untuk Pulang


"Jika ada yang tanya siapa orang pertama yang menjadi tempat tujuanmu untuk pulang, jawabanku adalah Ibu." 
Karena Ibu adalah orang yang pertama kali (dan paling lama) mengenalkanku pada rasa nyaman, sayang, bahagia, juga penghargaan. Mungkin itu juga yang dirasakan Ibuku sejak aku menikah dan pisah rumah dengannya. Kadang ia mengirim pesan mutiara di grup keluarga yang menyindir agar aku sering pulang ke rumah. Nampaknya karena dulu kita dulu pernah satu raga (9 bulan lamanya), jadi kini rasanya jadi ingin sering bersama.

Kupenuhi keinginan ibuku untuk selalu dekat, kini kita tinggal serumah lagi, walaupun dengan catatan aku menitipkan anakku dirumahmu, Bu. Di usia senjamu, aku malah menambah tugasmu untuk menjaga cucu pertamamu: Khanza, yaitu anak pertamaku. Karena aku harus bekerja. Ada rasa sedih dan tidak enak karena hingga aku menikahpun kenapa aku masih merepotkanmu? Tapi dengan senyum kau bilang “nggak papa, jadi rame di rumah ada anak kecil”. Aku tak pernah tega menitipkan anakku pada orang lain selain Ibu. Karena aku yakin betul ibuku adalah sebaik-baiknya pengasuh. Jiwa lembut dan sabarnya, juara! 
"Setelah kini memiliki anak, aku jadi berpikir menjadi Ibu adalah tugas seumur hidup; tersemat sejak kau mengandung anakmu dan terus bertugas sampai rambut memutih."


Namun meski sosok ibu menjadi panutanku, tetap saja ada kalanya ia melakukan kesalahan. Salah satunya ketika mengurusi soal tabungan asi perah (ASIP) yang kusimpan di freezer rumah. Saat itu aku baru saja masuk kantor setelah cuti melahirkan. Freezer masih penuh ASIP dan selalu nyala dengan suhu -20 derajat celcius. Ibu bilang, freezer-nya terlalu dingin, jadi banyak bunga esnya. Akhirnya beliau (tanpa sepengetahuanku) mengurangi suhu freezer. Sayangnya, hingga ke indikator suhu paling rendah.








Hasilnya? Sore itu aku pulang dari kantor dalam keadaan terkejut karena sebagian ASIP-ku sudah cair di freezer. Sekitar 25 botol tak bisa diselamatkan karena terlajur mencair. Aku panik sambil mengingat-ngingat bagaimana perjuangan memompa ASI di kantor, di jalan, sambil menahan kantuk di tengah malam, namun kini golden liquid itu sudah mencair sia-sia. Ibu tahu betul aku sedih. Ia meminta maaf karena tak tahu kalau ASIP yang sudah mencair tidak bisa dibekukan lagi, harus diminum 24 jam setelah cair. “Di zaman ibu belum ada merah-merah susu begini, nduk,” kata Ibu.

Awalnya -sambil membereskan stok ASIP di freezer- hampir meledak amarahku. Tapi kupikir marah tak akan mengembalikan ASIP yang terbuang, jadi energiku kusimpan untuk begadang dengan anak nanti malam. Lagi pula mana bisa aku marah kalau sejak aku melahirkan Ibu membantu memandikanku, menggendong anakku, memberi tips dan trik hidup setelah melahirkan, memasak dan menyiapkan berbagai makanan enak yang membuat ASIku lancar.

Tak apa Bu.. Dibanding marah aku malah ingin berterima kasih. Karena aku tak akan bisa sukses mengASIhi Khanza anakku tanpa dukungan darimu. Karena aku tak mungkin bisa jadi Ibu yang baik, tanpa contoh Ibu yang selembut, sabar, dan penyayang seperti dirimu.

Karenamu Ibu, ada sejuta alasan untukku pulang ke rumah; makanan, kerinduan, kenyamanan, dan kasih sayang yang begitu melimpah hanya sebagiannya.


Artikel ini ditulis untuk Ibuku tercinta Enny Supriyanti dan untuk kompetisi blog #KarenaIbu 


Salam sayang, 
Ais.

Komentar

  1. Waahh.. kembang kempis sih pasti kalo ASI mencair.. Tapi kebayang sih sama ibu emang ga bisa marah yaaa :(

    BalasHapus

Posting Komentar