Bumi Manusia: Memukau Lahir Batin Saya

Sudah sebulanan ini saya menggenggam novel tua milik seorang teman. Ketika ia membaca novel milik ayahnya tersebut di sekolah, dan saya ketahui penulisnya adalah Pramoedya Ananta Toer, seketika agresivitasku menghujaninya. Dan dengan baik hati ia meminjamiku buku itu sampai detik aku menulis review ini.



Pramoedya Ananta Toer.
"dipuja di negeri orang, diinjak di negeri sendiri"



Bumi Manusia, sebuah novel jebolan tahun 1980 dengan latar cerita akhir abad XIX ini merupakan satu dari empat Roman Karya Pulau Buru (Tetralogi Buru) yang kesemuanya ditulis oleh Pram saat beliau menjadi tapol--tahanan politik di pulau tersebut. Dalam hari-hari pengasingan Pram di Buru, ia sempat menceritakan secara lisan kisah pelik ini kepada para tahanan. Bahkan tokoh asing dan tahanan lain sempat membantu menyediakan mesin tik untuk Pram mengalirkan kreativitasnya. Dan setelah beliau bebas, berkas tulisan emasnya banyak yang tersandera di tangan sipir, ataupun hilang dimakan waktu karena ia dilarang untuk menggunakan alat tulis (pasti sangat berat untuk seorang macam Pak Pram), dan akhirnya menulis dengan menggunakan alat ala kadarnya disana. 
                                            
1980, dengan bantuan banyak pihak termasuk teman-teman sepenjaraanya dulu, dongeng lisan itu kini tercetak dalam 353 halaman. Dan saya temukan nominal Rp 3500 tertulis dengan pensil di lembar pertama novel pinjaman ini. Harga yang cukup tinggi pada zamannya. Setelah kurang dari setahun penerbitannya, dan kurang lebih 20000 eksemplar yang beredar, Kejaksaan Agung melarang peredaran buku cerdas ini. Karena dianggap membawa ajaran Marxisme-Komunisme.

Covernya cetakan ke-empat "Bumi Manusia", klasik ya..


Dua puluh bab dengan luwes melukiskan kehidupan seorang pribumi bernama Minke. Tokoh Minke sendiri merupakan nama samaran dari Raden Mas Tirto Adhi Soerjo,  yang menjadi inspirasi Pram untuk menulis kisah ini. RM TAS--begitu namanya biasa di singkat, adalah putra seorang bupati, sehingga pada zamannya ia mendapat kesempatan untuk mengenyam pendidikan Belanda. Lalu seketika hidupnya beranjak rumit karena impian dan pilihannya. Dan kita akan melihat sebuah perjuangan hidup seorang pribumi muda dalam naungan hukum Eropa, juga bagaimana Eropa menerapkan ilmu yang telah mereka ajarkan sendiri.

Novel dengan akhir kelabu ini cukup membuat kita terbayang akan kehidupan Hindi--Jawa khususnya, ketika Belanda menjajah negeri gemah ripaloh jinawi ini. Novel ini penuh dengan butir cinta. Cinta seorang lelaki terhadap perempuan muda bernama Annelis Mellema, cinta seorang ibu terhadap anaknya, cinta  seorang pembelajar terhadap ilmu, dan yang tak kalah penting novel ini juga menggambarkan awal kebangkitan nasional dengan sudut pandangnya, dan juga gambaran kehidupan sosial Eropa dan Pribumi pada saat itu.

Menurut saya, novel ini tidak hanya mengagumkan secara linguistik. Kisah itu sendiri dan bagaimana proses kisah ini dapat di nikmati sampai sekarang, jauh lebih mengagumkan dan menggugah hati sang pembaca. Dalam novel ini, tidak saya temukan ajaran-ajaran yang dituding oleh Kejaksaan Agung, yaitu Komunisme maupun Marxisme. Bahkan semangat nasionalis sangat kental mengalir di nadi cerita ini.

Bahasa yang disajikan sudah pasti berbeda dengan prosa masa kini. Tetapi pemakaian kata asing dan tata bahasa yang kadang sedikit rumit tidak mengurangi kenikmatan membaca roman yang memicu decak kagum ini. Saya sempat menemukan berbagai kalimat indah di dalamnya yang bisa menjadi sentilan, kaca, ataupun inspirasi bagi kita:

“Seorang terpelajar harus juga belajar adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Itulah memang arti terpelajar itu”

“Cinta itu indah, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini.”

“Cinta itu indah, juga kebinasaan yang mungkin membututinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya”

“Hidup bisa memberikan segala pada barangsiapa tahu dan pandai menerima”

“Sekali dalam hidup orang mesti menentukan sikap. Kalu tidak, dia takkan menjadi apa-apa”

Saat ini dengan sangat beruntungnya saya mendapat pinjaman novel kedua dari Tetralogi Buru, yaitu Anak Semua Bangsa, dari teman yang sama pula. Dan setelah saya merampungkannya, segera akan saya post review dan tentunya juga kalimat-kalimat indahya.

***

Bermilyar sastra indah yang tercipta di dunia, salah satunya pasti punya Anda.
Tetap semangat untuk memotret hidup lewat kata, sukses Seni dan Sastra Indonesia!


Komentar

  1. ais di freedom institute buanyak sekali buku Pramoedya. maaf yah blm sempat juga mengajak mu kesana, tp semoga secepatnya kita kunjungi FI hehehe. nice review :)

    BalasHapus
  2. oke kaaaak :)
    mendadak aku jadi Pram-licious gini hhihi

    BalasHapus

Posting Komentar